Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia


Lirik lagu Dewa
Merah darahku bulat tekadku
Setelah aku tatap wajahmu
Berkobar seluruh jiwa dan ragaku
Untuk perjuangkan cinta yang ku yakini
Putih tulangku semangat cintaku
Setelah aku raba tanganmu
Rasakan kulitmu yang selembut salju
Serentak bergelora darah mudaku
Reff:
Kamu adalah perempuan paling cantik
Di negeriku indonesia kamulah yang nomor satu
Aku tak akan bisa sukai lagi perempuan yang lainnya
Revolusi cinta matiku
Telah bergema ke seluruh negeri
Ini adalah tonggak sejarah hidupku
Karena ku yakin kamu adalah takdirku
Dengan tegasnya ku nyatakan
Kamulah akhir perjuanganku
Kuburkan cinta cinta yang sudah sudah
Kemerdekaan aku ka


Para Jin Unjuk Rasa


Saya baru akan memulai pelajaran pertama tatkala seorang siswa mengetuk pintu kelas. Saya membuka pintu dan menemuinya.

"Ada apa?"

"Anu, dua siswa-siswi kelas satu kesurupan, Pak!"

"Kesurupan? Kenapa bisa?"

"Aku juga kurang tahu, Pak! Tetapi Bapak diminta menolong siswa-siswi yang kesurupan itu!"

"Loh, kok saya yang dimintai tolong? Katakan kepada wali kelasnya bapak tidak pernah mengatasi orang kesurupan sebelumnya! Bapak tidak bisa membantu!"

"Baik, Pak!"

Tanpa sedikit pun terpengaruh dengan peristiwa tersebut, saya kembali melanjutkan pelajaran. Namun, ketika akan memulai menjelaskan pokok bahasan hari ini, tiba-tiba seorang siswa lainnya datang. Kali ini ketua organisasi lembaga pelajar di sekolah, si Andi.

"Ada apa lagi, Di?" tanya saya.

"Aku disuruh bapak kepala sekolah menemui Bapak!"

"Tentang siswa-siswi yang kesurupan itu juga?" tanya saya lagi.

"Benar, Pak! Jumlah siswa-siswi terus bertambah. Kini seluruh siswa-siswi dalam kelas yang jumlahnya empat puluh orang kesurupan. Mereka menjerit-jerit. Menangis sekeras-kerasnya. Membentur-benturkan kepala ke tembok. Berguling-gulingan di lantai. Malahan, seorang siswi membanting semua kursi dan meja yang ada dalam kelas. Jika ada yang mencoba memegangnya, dia meronta-ronta melepaskan diri. Dia menghardik, menyerang, menendang, menempeleng, dan menjambat rambut siapa pun yang berusaha mendekat!"

"Baik, Nak! Katakan kepada bapak kepala sekolah saya akan segera menyusul ke sana," ujar saya memotong Andi cepat-cepat karena tidak tahan mendengar kisahnya lebih banyak.

Selama dua puluh tahun saya mengabdi sebaga guru di sekolah ini baru kali ini ada kejadian siswa-siswi kesurupan. Tidak tanggung-tanggung pertama terjadi langsung dalam jumlah besar.

Hal itu tentu saja membuat pihak sekolah kelabakan. Dan, sayalah yang dianggap mumpuni mengatasi kejadian tersebut. Pertimbangannya, karena saya seorang guru agama yang mengerti hal-hal gaib.

Tentu saja saya mengelak dan mengusulkan supaya memanggil orang yang sudah biasa menghadapi hal demikian. Saya jelaskan kepada kepala sekolah dan seluruh guru yang hadir saat itu bahwa saya bukanlah orang yang tepat meski pernah melihat bagaimana orang kesurupan dihadapi dan diobati.

***

Peristiwanya masih dulu sekali di kampung istri saya di sebuah desa kecil di Jawa. Seorang anak yang sedang bermain di dekat kuburan tua, tidak jauh dari pohon asam yang telah berumur puluhan tahun, tanpa tahu kenapa tiba-tiba mengelepar-gelepar di tanah. Dia menjerit dan meraung sangat kuat. Teman sepermainannya datang mengabarkan kepada orang tuanya dan warga desa.

Si anak kemudian dibawa ke balai desa dan salah seorang warga bergegas memanggil orang pintar, seorang dukun kampung. Warga desa sering memanggilnya Mbah Tumi. Dia terkenal bukan saja di desanya tetapi sampai ke desa-desa tetangga. Seluruh warga desa mempercayainya akan sanggup mengusir roh jahat yang dianggap sering masuk ke jasad warga.

Dalam kepercayaan orang-orang di kampung istri saya saat itu, sebenarnya roh jahat yang masuk ke dalam jasad warga berasal dari roh leluhur yang biasa disebut "Mbah". Mbah itu meninggal beberapa puluh tahun yang lalu. Dia dikuburkan di dekat pohon asam itu.

Masih menurut cerita orang di kampung istri saya, si mbah itu dikenal sakti. Karena itu, ketika dia meninggal rohnya tidak sampai ke langit. Entah mengapa rohnya tertahan di pintu langit. Roh tersebut kemudian gentayangan yang sewaktu-waktu berubah wujud menjadi kelelawar yang terlihat di pohon asam pada malam hari. Terkadang juga masuk ke jasad warga.

Begitu Mbah Tumi mulai beraksi dengan membaca mantra-mantra seraya menjepit ibu jari kaki si anak dengan kuat, kontan mata si anak melotot ke arahnya. Tatapannya begitu tajam dan menyala. Tetapi Mbah Tumi yang sudah terbiasa itu terlihat tidak gentar. Tidak lama kemudian, perlahan dia mulai dapat mengatasi hingga berlangsung dialog diantara keduanya.

"Siapa kamu?" tanya Mbak Tumi.

"Apa perlunya kamu menanyakan itu, heh!" katanya lantang dengan suara serak, menyerupai suara kakek-kakek.

"Jangan banyak bertingkah, cepat kamu keluar dari jasad anak ini!" perintah Mbah Tumi tidak kalah lantang.

"Kalau saya tidak mau keluar!"

"Apa yang kamu inginkan? Anak ini tidak bersalah!"

"Siapa bilang tidak bersalah. Dia nakal karena selalu bermain di sekitar rumahku!"

"Di mana rumah kamu?"

"Ah, kamu bertanya segala lagi. Puih! Apa kamu pura-pura tidak tahu?" katanya dengan nada sinis .

Dialog antara Mbah Tumi dengan roh dalam jasad anak itu berlangsung lama. Tetapi, bukan Mbah Tumi jika tidak berhasil memenangkan pertarungan tersebut. Mbah Tumi lalu menyarankan warga desa untuk merawat kuburan tua dan pohon besar itu. Membersihkan dari daun-daun kering yang jatuh. Memagarinya supaya anak-anak mereka tidak lagi memasuki wilayah itu untuk bermain.

Saat itu, saya setengah yakin setengah tidak dengan kepercayaan itu. Namun, semenjak saya mendapat kesempatan mempelajari agama lebih banyak di perguruan tinggi saya kemudian menolaknya sama sekali.

Masak ada roh gentayangan? Hakikatnya semua roh yang telah berpisah dengan jasadnya akan kembali kepada pemiliknya, yakni Tuhan. Lagi pula sangat tidak pantas jika roh manusia yang mulia itu berubah menjadi kelelawar atau sejenis binatang lainnya.

Menurut saya, sesungguhnya bukan roh jahat yang masuk ke tubuh warga kampung melainkan sebangsa jin yang berperilaku jahat.

"Kok, ada jin yang senang berperilaku jahat?" tanya seorang warga sekembali saya ke kampung setelah menamatkan kuliah.

"Karena ada juga jin yang baik!" jawab saya datar.

"Kalau ada jin baik, kenapa harus ada jin yang jahat?" tanyanya lagi.

"Sebenarnya tidak pantas disebut jin jahat. Jin-jin itu pada dasarnya sama dengan manusia. Ya sama-sama ciptaan Tuhan. Mereka juga terdiri atas jenis laki-laki dan perempuan sehingga mereka bisa kawin dan beranak pinak. Para jin itu menetap di mana saja. Bisa di pohon-pohon besar, di gedung-gedung bertingkat, di hutan ataupun di kota. Di rumah-rumah kita juga banyak jin yang numpang tinggal, hanya saja kita tidak melihatnya. Bahkan, mereka juga bisa menetap dalam tubuh kita. Kelebihan jin dibanding manusia karena mereka bisa mengubah diri mereka menjadi apa saja. Bisa kelelawar, kerbau, kuda, pokoknya apa saja!" urai saya panjang lebar.

"Tetapi kenapa jin itu sering iseng atau nakal kepada manusia? Apa mereka kurang kerjaan?"

"Saya kira bukan itu masalahnya! Sebagai sesama makhluk jin juga mendambakan hidup damai dan berdampingan secara baik-baik dengan manusia. Kalau mereka banyak yang nakal dan menganggu kehidupan manusia jangan-jangan justru manusia yang lebih dahulu iseng mengusik kehidupan mereka!"

"Lalu bagaimana dengan cerita roh gentayangan?"

"Menurut saya, ya, itu jin yang menyerupai jasad manusia yang telah meninggal!"

***

Meski para guru dan siswa lainya sedikit kewalahan, semua siswa-siswi yang kesurupan sudah berhasil ditenangkan. Memang sulit dipercaya dengan akal sehat bila seseorang kesurupan. Bayangkan, seorang siswi mampu melepaskan diri dari beberapa guru pria yang mencoba menenangkannya. Siswi tersebut seperti memiliki kekuatan yang lebih besar dari kekuatan lima orang guru pria.

Saya mengumpulkan keberanian untuk mengusir jin-jin dalam tubuh siswa-siswi. Akhirnya dengan susah payah saya mampu meyakinkan diri dapat melakukannya. Tetapi saya tidak mungkin mengobati satu per satu siswa-siswi yang kesurupan sebab akan mengambil waktu yang lama. Mungkin diperlukan waktu berjam-jam jika saya mengatasi jin-jin yang berada dalam jasad empat puluh siswa-siswi.

Saya lalu mengelilingi mereka semua yang kini dibaringkan di aula. Setiap siswa atau siswi dipegangi sekurangnya lima orang. Saya sengaja berkeliling dengan harapan menemukan wajah siswa-siswi paling merah, marah, dan beringas. Biasanya, bos jin berada pada tubuh yang paling kuat meronta-ronta.

Tetapi dengan cara demikian saya masih mendapatkan kesulitan. Hampir semua siswa-siswi yang kesurupan menujukkan wajah yang sama. Wajah penuh amarah. Memandang dengan sinis. Sorot mata yang tajam. Dan, dari mulut mereka semua keluar suara-suara seperti sedang mendesis.

Menyaksikan hal tersebut nyali saya kembali turun. Saya sudah mundur kalau saja bukan faktor kasihan melihat siswa-siswi itu. Belum lagi bila menatap wajah kepala sekolah dan guru-guru yang begitu menaruh harapan besar kepada saya.

Sekali lagi saya mengumpulkan keberanian dan perlahan mendekati salah seorang siswi. Dia dipegangi lima orang. Tangannya yang terentang dijaga oleh dua orang. Begitu pula pada kakinya terdapat dua orang. Satu orang lagi berjaga-jaga di bagian kepala kalau-kalau dia berusaha bangkit.

Begitu jarak saya dengannya berkisar setengah meter, siswa tersebut meludah ke atas dan tepat mengenai wajah saya. Dugaan saya, inilah cara jin yang berada dalam jasad memancing kemarahan sehingga konsentrasi saya terganggu.

Saya membaca doa-doa dan menjepit ibu jari kakinya dengan kuat. Tidak lama kemudian jin dalam jasad siswa mau angkat bicara.

"Aku dan teman-temanku tidak akan keluar sebelum tuntutan kami dipenuhi!" katanya dengan suara serak dan begitu emosional.

"Apa tuntutan kalian? Kalian salah karena menganggu siswa-siswi yang tidak bersalah ini!"

"Tetapi manusia yang lebih dahulu mengusik kami! Masak kami diburu-buru!"

"Siapa yang memburu kalian?"

"Itu para tim pemburu jin. Bahkan yang lebih menyakitkan karena manusia menyajikannya lewat sebuah tayangan langsung di sejumlah televisi swasta!"

"Kalau begitu kalian salah alamat! Ganggu saja manusia-manusia yang memburu, menangkap, dan memasukkan sebangsa kalian dalam TV untuk kepentingan komersil!" tegas saya yang seketika itu teringat istri dan anak-anak. Bukankah itu tayangan yang mereka tunggu-tunggu setiap malam?***

Salatiga-Canberra, 2005-2006
Cerpen: Ahmad Syam

Paku di Kepala Istri Sanusi


Cerita dari Desa Legok Sirah,
84 tahun yang lalu.

Yuni sangat terkejut setelah menemukan sebuah paku berukuran tujuh senti meter menancap di kepala ibunya sewaktu dia sedang mencarikan kutu. Lalu sang anak menyampaikan penemuannya itu kepada ibunya, "Ada paku di kepala Ibu!" Sang ibu tak sekejut anaknya.

"Bisa kamu cabut, Yun?" perintah sang ibu akhirnya. Yuni yang diberi tugas tampak serius memeriksanya. Perempuan yang bersuamikan Sanusi, seorang petani itu menunggu dengan harap-harap cemas. Sebab dia tahu, karena paku itulah dirinya tidak bisa lagi pergi ke dunia gaib sebagai makhluk yang bernama kuntilanak. Sanusi yang sempat kehilangan istrinya, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan istrinya kembali. Maka pada suatu malam Sanusi berhasil menangkap istrinya di atas pohon asam yang ada di belakang rumahnya dan langsung memantekkan sebuah paku ke kepala istrinya sehingga tidak bisa terbang lagi. Dan ini kali adalah kesempatan yang kesekian bagi istrinya untuk bisa pergi lagi ke alam gaib yang pernah dia jalani sebelumnya.

"Kayaknya pakunya panjang, Mak. Apa tidak sakit kalau dicabut?"

Istri Sanusi itu termenung sejenak, lalu berkata: "Emak rasa tidak, Yun. Coba dicabut saja."

"Yuni coba ya, Mak," kata Yuni, putri bungsu keluarga Sanusi yang memiliki dua orang anak itu berusaha mencabut paku dari kepala ibunya. Namun setelah paku itu berhasil dicabut, tiba-tiba sang ibu terbang sambil meninggalkan tawa menuju arah pohon asam di belakang rumahnya lalu menghilang di rimbun dedaunan. Menyaksikan ibunya bisa terbang, Yuni langsung pingsan. Yunar, kakak Yuni yang terakhir tahu kejadian itu langsung berlari menemui ayahnya di sungai yang sedang mencuci sayuran yang baru dia petik di ladang. Sanusi sangat terkejut setelah mendengar pengaduan anak lelakinya kalau ibunya sudah bisa terbang lagi. Tanpa banyak tanya Sanusi berlari menuju rumahnya. Didapatkan Yuni masih tergeletak. Buru-buru Sanusi menyadarkan Yuni dengan memberi minyak wangi. Yuni perlahan siuman. Lalu menceritakan ibunya telah hilang.
"Pasti ada yang mencabut paku di kepala Emak kalian!" tuding Sanusi geram. Sang anak tertunduk.
"Yuni menyesal, Pak," aku Yuni dengan suara lemah.
"Apa yang harus disesali kalau sudah begini," tukas sang ayah.

"Makanya, apa-apa yang aneh di keluarga kita segeralah diberitahukan. Jangan mengambil keputusan sendiri, sehingga antara anak dan Bapak tidak saling menyalahkan!"

"Maaf, Bapak tidak sempat memberitahukan kalau di kepala Emak kalian ada paku yang tidak boleh kalian cabut," terang Sanusi sambil merasakan sesal di hati.
"Jadi sekarang bagaimana, Pak?" tanya Yunar yang kesal sekali terhadap ayahnya.
"Kita harus menangkap Emak kalian lagi, lalu memakunya kembali."
"Bagaimana caranya, bukankah kita sendiri tidak bisa terbang seperti Emak?"
"Kita harus cari akal"

* * *

Menjelang gelap malam, Yunar, dengan paku dan batu di tangan, sudah berada di perkebunan karet yang tidak jauh dari rumahnya. Yunar berharap dirinya dapat menangkap ibunya di antara pohon-pohon karet yang tegak berdiri di sekelilingnya. Sedang Yuni yang dibantu oleh beberapa tetangganya memilih berjaga-jaga di bawah pohon asam yang ada di belakang rumahnya. Karena ke pohon itulah dia melihat ibunya terbang dan menghilang di situ. Lain halnya Sanusi, dia mengawasi istrinya dari bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat. Sebab dahulu sewaktu dia belum bisa menangkap istrinya, dia sering melihat istrinya memetik buah mangga itu bersama kelelawar-kelelawar. Dan sebagian buah yang dipetiknya sering dijatuhkan ke halaman rumah dengan maksud untuk dimakan oleh anak-anaknya yang waktu itu masih kecil-kecil.

"Untuk apa?" tegur Sanusi waktu itu karena menganggap perbuatan istrinya bukan perbuatan seorang ibu tapi perbuatan kuntilanak.
"Aku memberi makan anak-anakku," terdengar istrinya menyahut.

"Malam begini bukan waktunya memberi makan anak dengan makanan asam. Kau akan menyiksa anak-anakmu sendiri!" kata Sanusi. Sang istri tak menyahut, justru dia melesat terbang ke pepohonan yang lebih tinggi. Dua ekor tupai dan seekor burung yang sudah mati dilemparkan dari atas pohon ke pintu dapur.

"Itu bisa kamu panggang. Beri makan anak-anak kita," kata istrinya memohon dari atas pohon. Sanusi menolak karena tiga binatang buruan itu telah menjadi bangkai semua.

Dari pengalamam itu, Sanusi jadi lebih hafal dimana istrinya suka berdiam. Namun hari itu tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan istri Sanusi. Para tetangga yang turut mencari akhirnya kembali pulang dengan tangan hampa.

Akan tetapi, dibalik kecemasan di antara mereka, ada pula yang mensyukuri dapat dicabutnya paku dari kepala istri Sanusi, yaitu seorang perempuan yang bernama Emar, istri Leman, seorang penambang pasir di kampungnya. Emar berharap atas lepasnya Suti, yaitu istri Sanusi, akan ada perubahan nasib terhadap dirinya. Karena dirinyapun tak beda dengan istri Sanusi yang ingin lepas bebas seperti dahulu kala.

"Suti, datanglah kepadaku," bisik Emar sambil memandangi awan hitam yang berarak di antara bulan sabit yang terjebak oleh cuaca buruk melalui jendela rumahnya malam itu. "Ayo Suti, tolong temanmu ini. Aku tersiksa, Suti. Aku tersiksa" lemah suara Emar karena khawatir suaranya akan terdengar oleh suaminya yang tengah menunggu dirinya di pembaringan. Sedang Suti sudah mendengar suara temannya itu dari atas pohon waru.

"Sabar Emar, semua teman-temanku akan kubebaskan dari belenggu kaum lelaki yang serakah. Mereka akan bertekuk lutut nanti. Selama ini mereka hanya bisa memeras kita dan memperbudak kita. Mereka tak punya pikiran. Mereka gauli kita meski kita dalam keadaan sakit. Mereka terlalu menguasai kita. Kita harus balas. Dan sekaranglah waktunya. Dengan bebasnya aku, kalian semua akan kubawa ke tempat kita dulu. Tunggu saja, pada saatnya nanti kalian pasti lepas dari jerat mereka"

"Terima kasih, Suti. Terima kasih," balas Emar sambil menutup daun jendela dan terus menghampiri suaminya di pembaringan. Malam itu Emar memberi kehangatan tubuhnya untuk terakhir kali kepada suaminya. Sebab pada malam berikutnya Suti benar-benar datang menemui Emar yang menunggu di belakang rumahnya. Tanpa menunggu waktu lama, Suti sudah dapat mencabut paku yang ada di kepala teman dekatnya itu. Setelah paku dicabut, tubuh Emar seakan bersayap. Badannya jadi ringan. Dan akhirnya Emar bisa terbang bersama Suti menembus kepekatan malam.

Tampaknya seperti dendam kesumat, kedua perempuan yang sudah bisa terbang dan menghilang itu akhirnya mendatangi para kaumnya yang senasib. Dicabutinya paku-paku yang ada di kepala mereka masing-masing. Dan pada akhirnya para perempuan yang memiliki suami dari suku asli penduduk kampung itu semuanya dapat terlepas dari jerat paku yang dipantek oleh para suami mereka. Lalu mereka beterbangan layaknya kelelawar-kelelawar penghuni lautan malam hari. Mereka kembali menempati tempat tinggal mereka yang lama seperti pohon-pohon besar yang ada di lereng-lereng bukit.

"Aduh, bagaimana ini! Paku di kepala istriku ada yang mencabutnya," teriak Leman setibanya di hadapan teman-temannya yang sedang membantu mencari istri Sanusi sebagai orang pertama yang pakunya lepas dari kepalanya. Teman-teman Leman pada terkejut termasuk Sanusi sendiri.

"Jangan-jangan istri kita juga sudah tidak ada di rumah?" kata Lengger penuh kekhawatiran. Tanpa dikomando, para suami, serempak berlari menuju ke rumah mereka untuk melihat keberadaan istri mereka masing-masing. Obor yang mereka bawa berlari apinya cukup berkobar seakan menggambarkan perasaan hatinya yang teramat cemas. Dan lari mereka seperti srigala hutan yang tengah mengejar mangsanya. Mereka berpikir, kalau Suti sudah bisa lepas, urusannya akan jadi runyam. Contohnya sudah ada, yaitu istri Leman yang kedapatan sudah bisa terbang seperti Suti. Maka mereka para suami, berusaha untuk menyelamatkan istri-istri mereka dari hari pembebasan yang tengah dikibarkan oleh Suti, istri Sanusi itu.

"Apa aku bilang, istriku pun lenyap.Ini pakunya!" teriak Matarwi keluar dari dalam rumahnya sambil memperlihatkan sebuah paku kepada teman-temannya yang belum sempat melihat keberadan istrinya. Matarwi kembali masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh beberapa temannya. Matarwi melongok ke kolong-kolong tempat tidur siapa tahu istrinya bersembunyi di kolong tempat tidur. Tak ada. Teman-teman Matarwi akhirnya pada panik termasuk Lengger yang sudah curiga lebih awal tadi. Lalu mereka berlarian menuju ke rumah mereka masing-masing guna mencari istrinya.

"Menii Menii. Jangan pergi" suara Lengger cukup keras keluar dari dalam rumahnya sambil memegang sebuah paku yang dia temukan di atas tempat tidurnya. Anak-anak mereka bertangisan memanggil-manggil ibunya. Dan malam itu para suami telah kehilangan istri mereka masing-masing.
"Kita tidak akan mendapat istri sebaik mereka lagi," rintih Jagur sedih.

"Benar, kita akan kesusahan sepanjang hidup tanpa kehadirannya di sisi kita. Mereka begitu baik dan telaten mengurusi kita," sesal Dayut sambil menangis.

"Tapi mengapa mereka tega meninggalkan kita secara berbarengan? Apakah mereka dendam pada kita yang kedudukannya sangat terbalik dimana kita selalu mengandalkan tenaga dan pikirannya untuk urusan rumah tangga?" tanya Toyo.

"Sekarang kita harus berani mengaku bahwa kita yang salah. Karena, selain kita memasung istri kita, kita juga terlalu memperbudaknya. Di sinilah kekeliruan kita memperlakukan mereka," ujar Leman. Setelah mereka menyadari kekeliruannya, akhirnya satu persatu membubarkan diri untuk kembali mencari istrinya mereka masing-masing.

Malam kembali sunyi. Lolong srigala dari atas bukit melengking menyusup ke relung-relung jiwa yang ditinggalkan. Para suami dan anak merasa kehilangan buah hatinya. Hingga pada akhirnya, anak-anak di kampung itu menuntut bapak-bapaknya untuk bisa mengembalikan kembali ibu-ibu mereka yang telah pergi. Tapi para suami mengambil keputusan yang sama sekali janggal. Para suami tiba-tiba memantek kepalanya sendiri-sendiri dengan sebatang paku dan berharap bila kelak paku yang tertancap di kepalanya itu dicabut oleh anak-anaknya, mereka akan dapat terbang untuk menyusul istri-istri mereka yang telah pergi.

"Cepat cabut paku yang ada di kepala Bapak ini, Seno" pinta Lengger kepada anaknya setelah dia memaku kepalanya sendiri dengan sebuah paku hingga berdarah-darah. Seno amat terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bapaknya teramat deras. Spontan anak itu menjerit dan berlari keluar rumah.
"Tolong, Bapakku bunuh diri! Tolong Bapakku bunuh diriii" * * *

* Depok, Januari 2006/2007
Cerpen: Gita Nuari

Sopir Taksi dan Sebuah Kepala


 Cerpen: Naning Pranoto

Pukul 05.45, taksi biru tua yang dikemudikan Begjo distop oleh seorang lelaki tua bertopi pet, di dekat pintu tol jalur ke Jagorawi.
''Antar saya ke Bogor! Lewat tol,'' pinta lelaki tua itu, tergesa-gesa. Begitu duduk di jok belakang ia langsung menyerahkan amplop kepada Begjo. ''Apa ini, Pak?'' Begjo terkejut.
''Uang!'' sahut lelaki tua, bersuara ngebass. Begjo sempat mengamatinya. Penumpangnya itu, berusia 70-an, tapi masih tegap, sehat walau kulitnya keriput.
''Kasih uang saya kok banyak sekali, Pak? Begjo membelalak, ketika tangan kirinya menyingkap amplop dari penumpangnya itu. "Lagi pula, baru naik kok sudah mbayar.''
Tidak ada jawaban.
Penumpang itu membuka topi petnya, lalu mengenakan sunglass hitam gelap. Begjo melihat sekilas, kepala lelaki itu aneh: lonjong dan botak mengkilat.
''Pak saya takut, sampeyan mbayar banyak sekali. Seumur-umur baru kali ini saya nrima uang sebanyak ini!''
''Stt, jangan takut, Anda antar saya saja,'' gumam si penumpang, sambil membuka jendela taksi yang ada di sampingnya.
''Lho, Pak kok sampeyan ngeluarin kepala tho?'' Begjo terkesiap, penumpangnya menjulurkan kepala keluar jendela, posisinya tengadah, mulut ternganga, sepasang kacamatanya melotot seram.
Tidak ada jawaban. Taksi Bejo melaju kencang di tol Jagorawi. Si penumpang itu tetap menjulurkan kepalanya. Lehernya menegang, >kepalanya memanjang dan nyaris copot dari batang leher. Begjo panik.
''Pak, jangan bunuh diri!'' teriak Begjo, mengarah ke jalur lambat. Selama ia jadi sopir hampir seperempat abad, baru kali ini ia mendapat penumpang sangat aneh.
''Ayo, tancap gas Mas!'' pinta si penumpang itu sambil tertawa,
''Saya tidak mau bunuh diri. Saya cuma mau mbuang kepala saya di jalan tol!''
''Hah?'' Begjo melongo, ''Weleh, baru kali ini ada orang mau mbuang kepalanya. Berhenti saja ya, Pak.''
''Jalan terus. Saya tambah ongkosnya!'' ia berkata tegas, melemparkan amplop di pangkuan Begjo.
Begjo membelalak, melihat setumpuk uang asing, menyembul dari tutup amplop yang ada di pangkuannya.
''Itu uang dolar Amerika. Asli!'' kata si penumpang, ''Anda bisa beli rumah bebas banjir dengan uang dolar itu untuk anak-anak dan istri Anda.'' ''Maaf, tidak usah saja. Tapi, saya mau antar Bapak kemana pun, asal kepala Bapak tidak menjulur di jendela.'' Begjo berkeringat dingin. Ia menaruh dua amplop berisi uang itu di jok belakang.
''Anda menolak uang saya?'' lelaki itu tidak happy. ''Anda memerlukannya, paling tidak untuk membeli BBM selama mengantar saya.''
''Tidak usah. Saya mau berhenti.'' Begjo memperlambat taksinya.
''Jalan terus, sebelum saya berhasil membuang kepala saya. Ini proyek terakhir dalam hidup saya dan harus berhasil, karena saya telah sukses jadi pimpro berbagai proyek besar dan satu mega-proyek yaitu menobatkan seorang anak desa jadi orang nomor satu di negeri ini.'' Tiba-tiba lelaki itu tertawa lepas. Begjo limbung.
''Mas Sopir, jangan takut. Saat ini saya sedang super waras, setelah saya gila hampir empat puluh tahun. Maka, saya ingin mbuang kepala saya agar saya waras total. Selama kepala ini masih nempel tubuh saya, saya akan gila terus! Ketika Tuhan memanggil saya dalam kondisi waras, saya pasti mampu menyebut asma-Nya.''
''Pak maaf, saya tidak bisa melanjutkan nyopir.'' Begjo merintih. Ia ngompol pada titik puncak ketakutannya.
''Saya perlu bantuan Anda, untuk mbuang kepala saya di jalan tol. Sebab, bila kepala saya ini saya buang ke laut, akan dimakan ikan. Ikan yang makan kepala saya, akan dimakan manusia. Oh, jangan. Sebab, sari pati kepala saya penyebar virus berbahaya bagi siapa pun yang makan ikan ikan yang makan otak saya. Generasi yang memakan sari pati otak saya, akan jadi pengacau negeri ini. Kalau negeri ini terus menerus kacau, kapan mencapai Zaman Emas?''
''Zaman Emas, apa itu, Pak?'' Begjo heran.
''Jika Reformasi terwujud. Anda tahu reformasi?''
''Reformasi bermula waktu Pak Harto lengser jadi presiden karena didemo para mahasiswa yang ngumpul di Gedung DPR pertengahan Mei 1998? Apa benar, Reformasi itu artinya mbrantas pemerintahan yang korupsi?'' tanya Begjo lugu.
''Pinter.'' Seru lelaki yang ingin membuang kepalanya itu.
''Ah, saya ndak pinter, cuma lulus SD, lalu ajar nyopir dan jadi sopir taksi.
Bapak kerja apa?'' tanya Begjo memberanikan diri.
''Saya juga sopir, tapi bukan nyopiri mobil!''
''Nyopiri apa Pak?'' Begjo bingung.
''Nyopiri manusia, para petinggi negeri ini. Saya nyopir bukan dengan tangan, tapi dengan otak sumber berbagai taktik. Ya, otak kepala yang sekarang ini akan saya buang dan akan saya ganti dengan kepala bayi.''
''Kepala bayi?'' Begjo tambah bingung.
''Kepala bayi, otaknya masih suci. Tidak seperti otak saya, bejat, berisi otak iblis yang kerjanya menghasut, otak setan yang kerjanya menyesatkan, otak algojo yang ter-drive membunuh. Makanya, saya ingin punya kepala bayi hari ini, sebelum matahari terbenam, agar saya bisa mengisi otak itu dengan ajaran Kitab Suci yang dulu selalu dibacakan oleh ibu saya sebelum tidur. Saat-saat ibu saya membaca Kitab Suci, selalu mengusap-usap kepala saya, katanya agar apa yang ia baca bisa meresap ke otak saya. Itu kenangan indah dan termahal dalam hidup saya.''
Air mata Begjo menetes mendengar tuturan penumpangnya itu. Ia teringat masa kecilnya yang pahit. Ia tidak punya secuil pun kenangan manis bersama ibunya. Si ibu 'menghilang' saat ia berusia enam bulan. Setelah dewasa ia baru tahu, ibunya dibawa orang-orang bersenjata di pagi buta, setelah lebih dahulu dipukuli dan ditelanjangi oleh mereka itu. Ayahnya, telah hilang saat ia masih dalam kandungan.
''Kok nangis Mas Sopir?'' tanya lelaki tua yang semula menjulurkan kepalanya di jendela taksi, kini kembali duduk tertib di jok belakang sopir.
''Saya terharu Bapak tidak jadi mbuang kepala,'' Begjo berdusta.
''O..., saya tetap akan mbuang kepala saya!'' bisik lelaki tua itu, sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
''Tolong, tembak kepala saya!'' lelaki tua itu menyerahkan pistol pada Begjo. ''Pak, eling Gusti Allah!'' Begjo gemetar, menolak pistol itu.
''Anda tidak mbunuh saya. Ini kemauan saya, karena saya tidak mampu melakukannya, walau saya telah membunuh ratusan jiwa tahun enam-lima, hingga enam tujuh.'' Mata lelaki tua itu membasah. Lalu, ia menyerahkan lagi amplop pada Begjo sambil berbisik, ''Ini surat wasiat untuk Anda, ucapan terima kasih saya!''
Begjo diam. Ia tidak menginginkannya amplop itu.
''Mas Sopir, yuk cari tempat aman, agar Anda bisa nembak kepala saya dengan tenang,'' lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu begjo.
Begjo tidak taat. Ia mematikan mesinnya di jalur peristirahatan kendaraan. ''Maaf, saya tidak bisa lagi nyopir, Pak.'' Begjo pasrah. Ia buka pintu taksi. Tapi sebelum ia melangkah, terdengar tembakan lepas memuntahkan rentetan peluru, tepat mengenai kepala Begjo. Tubuh Begjo terkulai, menyangsang di pintu depan taksinya.
Tak sampai 10 menit, polisi patroli datang menghampirinya. Pada saat itulah lelaki tua itu menembak kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak, ''Saya ingin mbuang kepala saya. Kepala yang mengotaki pembunuhan terkeji di negeri ini. Saya juga yang menembak sopir taksi ini.''
Dor! Dor! Doorrrrr! ***


Sponsor

 

Bloglisting.net - The internets fastest growing blog directoryMy Ping in TotalPing.com Site Meter Add to Technorati Favorites Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net Top Internet blogs Preview on Feedage: freewaremini Add to My Yahoo! Add to Google! Add to AOL! Add to MSN Subscribe in NewsGator Online Add to Netvibes Subscribe in Pakeflakes YouSayToo Revenue Sharing Community Subscribe in Bloglines Add to Alesti RSS Reader Add to Feedage.com Groups Add to Windows Live iPing-it Blogarama - The Blog Directory Add to Feedage RSS Alerts Add To Fwicki Add to Spoken to You Free Automatic Google Backlinks - SEO

Free counters!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...